PEMERINTAH dan DPR RI tengah membahas dua regulasi strategis yang menjadi tulang punggung sistem peradilan pidana nasional, yakni Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia (RUU Polri).
Upaya ini mendapat apresiasi dari kalangan akademisi sebagai bentuk keseriusan negara dalam melakukan reformasi hukum. Namun, dibutuhkan pendekatan yang lebih inklusif agar hasil legislasi benar-benar menjawab kebutuhan keadilan masyarakat.
Dr. Alwan Hadiyanto, S.H., M.H., dosen pascasarjana dan pakar hukum pidana dari Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam, menilai bahwa meskipun RUU KUHAP dan RUU Polri merupakan langkah maju, sejumlah isu mendasar masih perlu diperbaiki secara serius. Terutama menyangkut aspek transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak-hak dasar warga negara dalam proses hukum.
“RUU ini sangat strategis, tetapi prosesnya harus terbuka. Keterlibatan publik dan komunitas hukum menjadi kunci untuk memastikan bahwa undang-undang ini tidak hanya sah secara formal, tapi juga adil dan aplikatif secara substansial,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (29/5/2025).
Dr. Alwan menyoroti beberapa pasal dalam draf RUU KUHAP yang membatasi kewenangan praperadilan hanya pada aspek formal. Padahal, menurutnya, praperadilan seharusnya menjadi instrumen penting untuk menilai legalitas penyidikan secara materiil.
Selain itu, penghapusan konsep hakim pengawas atau hakim komisaris dinilai berisiko menghilangkan pengawasan sejak tahap awal penyidikan, yang selama ini menjadi elemen penting dalam mencegah penyalahgunaan kewenangan aparat.
Ia juga menekankan bahwa belum jelasnya batas kewenangan antara lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK dapat memicu tumpang tindih kewenangan dan konflik antar lembaga. Kondisi ini, jika tidak segera diantisipasi, berpotensi mengganggu kepastian hukum dan mengaburkan proses penegakan hukum yang objektif.
Terkait wacana larangan siaran langsung dalam persidangan serta penggunaan istilah hukum tanpa definisi operasional yang memadai, Dr. Alwan mengingatkan bahwa keterbukaan dan kejelasan norma adalah prinsip fundamental dalam negara hukum demokratis.
Berikut adalah catatan kritis dan analisis terhadap dua rancangan undang-undang penting yang tengah dibahas di Indonesia: RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan RUU Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Keduanya memiliki implikasi besar terhadap sistem hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi di Indonesia.
Catatan kritis akademisi terhadap RUU KUHAP
Penerapan Asas Dominus Litis dan Potensi Tumpang Tindih Kewenangan
RUU KUHAP memperkenalkan asas dominus litis, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada kejaksaan dalam proses penyidikan. Misalnya, Pasal 12 ayat (11) menyatakan bahwa jika dalam 14 hari setelah menerima permintaan untuk mulai melakukan penyidikan penyidik tidak melakukan tugasnya, maka pelapor atau pengadu dapat meminta kejaksaan mengambil alih kasus tersebut. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik antara lembaga penegak hukum, mengganggu independensi penyidik, dan menciptakan ketidakpastian hukum dan rawan untuk di main main kan perkara tersebut..
Reduksi Diferensiasi Fungsional Antar Lembaga Penegak Hukum
Penerapan asas dominus litis dalam RUU KUHAP dapat mengaburkan batas antara fungsi penyidikan oleh kepolisian dan penuntutan oleh kejaksaan. Hal ini dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan melemahkan sistem checks and balances dalam penegakan hukum .
Potensi Penyalahgunaan Kewenangan oleh Kejaksaan
Pemberian kewenangan yang besar kepada kejaksaan tanpa mekanisme pengawasan yang memadai dapat membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dikhawatirkan dapat digunakan untuk kepentingan politik tertentu, seperti menekan lawan politik atau melindungi kroni-kroni yang terlibat dalam kasus pidana.
Catatan kritis akademisi terhadap RUU Polri
Perluasan Kewenangan Tanpa Mekanisme Pengawasan yang Jelas
RUU Polri memberikan kewenangan luas kepada Polri dalam pengawasan ruang siber, termasuk pemblokiran dan pembatasan akses internet, serta kewenangan penyadapan tanpa mekanisme izin pengadilan yang jelas. Hal ini berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan privasi masyarakat.
Penguatan Fungsi Intelijen Polri dan Risiko Dwifungsi
RUU Polri memperluas kewenangan intelijen Polri, termasuk melakukan “penggalangan intelijen” dan “penangkalan dan pencegahan” terhadap aktivitas yang dianggap mengancam kepentingan nasional. Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan Badan Intelijen Negara (BIN) dan menghidupkan kembali praktik dwifungsi ala Orde Baru.
Minimnya Mekanisme Pengawasan Terhadap Polri
RUU Polri tidak secara tegas mengatur mekanisme pengawasan terhadap institusi Polri dan anggotanya. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang seharusnya berperan sebagai lembaga pengawas dinilai tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk menjalankan fungsi pengawasan secara efektif.
Proses Pembahasan yang Minim Partisipasi Publik
Proses pembahasan RUU Polri terkesan terburu-buru dan minim partisipasi publik. RUU ini tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024, namun tiba-tiba diinisiasi oleh DPR tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
Secara general bahwa Analisis Umum kami dari akademisi berpendapat bahwa kedua RUU ini menunjukkan kecenderungan perluasan kewenangan aparat penegak hukum tanpa disertai dengan mekanisme pengawasan yang memadai. Hal ini berpotensi mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Proses pembahasan yang terburu-buru dan minim partisipasi publik juga menimbulkan kekhawatiran bahwa RUU ini tidak mencerminkan aspirasi masyarakat dan dapat menimbulkan ketidakadilan dalam sistem hukum.
Menurutnya ada beberapa catatan dan rekomendasi yang bisa disampaikan, beberapa diantaranya adalah:
Melibatkan Partisipasi Publik Secara Bermakna
Proses pembahasan RUU KUHAP dan RUU Polri harus melibatkan partisipasi publik secara luas, termasuk akademisi, praktisi hukum, dan masyarakat sipil, salah satunya turun ke daerah daerah untuk melihat hukum yang hidup di masyarakat (living the law). Tujuan nya adalah untuk memastikan bahwa RUU tersebut mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat terutama para pencari keadilan.
Menyusun Mekanisme Pengawasan yang Kuat
Perlu adanya mekanisme pengawasan yang independen dan efektif terhadap kewenangan yang diberikan kepada aparat penegak hukum, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Karena akan rawan untuk dapat mengkriminalisasi kan seseorang.
Meninjau Kembali Ketentuan yang Berpotensi Menimbulkan Tumpang Tindih Kewenangan
Ketentuan dalam RUU yang berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum perlu ditinjau kembali untuk memastikan koordinasi yang efektif dan efisien dalam penegakan hukum. Ini berkaitan dengan konsep restorative justice yang akan disahkan dalam RUU KUHAP nantinya.
Menetapkan Standar dan Prosedur yang Jelas dalam Pelaksanaan Kewenangan
RUU harus menetapkan standar dan prosedur yang jelas (SOP yang jelas)
dalam pelaksanaan kewenangan aparat penegak hukum, termasuk dalam hal penyadapan, penangkapan, dan penyidikan, untuk memastikan perlindungan hak asasi manusia. Termasuk dalam perluasan makna alat bukti / barang bukti dan juga bab terkait mekanisme pemasangan CCTV. Dan standarisasi nya untuk dapat dijadikan bukti.
Dengan mempertimbangkan catatan kritis dan rekomendasi di atas, maka menurut kami para akademisi, praktisi dan pengamat hukum berharap RUU KUHAP dan RUU Polri dapat disusun dan dibahas secara hati-hati, transparan, dan partisipatif, guna mewujudkan sistem hukum yang adil, akuntabel, dan menghormati hak asasi manusia di Indonesia.
Dr. Alwan menambahkan bahwa keterbukaan dan kualitas legislasi tidak hanya akan memperkuat sistem hukum nasional, tetapi juga meningkatkan citra Indonesia sebagai negara demokratis yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
“Dengan mendengarkan aspirasi publik, terutama dari kalangan akar rumput dan komunitas hukum, pemerintah akan memperkuat fondasi negara hukum yang berkeadilan. Inilah saatnya kita melahirkan regulasi yang tidak hanya kuat di atas kertas, tetapi juga adil dalam pelaksanaan,” pungkasnya. (***)