
Bursakota.co.id, Anambas – Sejumlah perwakilan desa, nelayan, dan instansi pemerintah menggelar rapat bersama di Kecamatan Siantan Timur, Kabupaten Kepulauan Anambas, untuk membahas persoalan pemasangan alat tangkap bubu paluh yang dikeluhkan oleh nelayan tradisional Desa Munjan.
Rapat ini diadakan sebagai respons atas surat dari Kepala Desa Munjan, dengan Nomor :100.3.1.1/167/DS-MJN/07/25 tentang permohonan fasilatas Rapat Nenlayan yang mana sebelumnya Desa Munjan telah mengeluarkan Surat pada 30 Juni Dengan Nomor :Nomor : 132/DS-MJN/06/2025 tentang pemberitahuan larangan untuk tidak memasang bubu paluh di Desa Munjan yakni dari karang Buluh sampai dengan Karang Nusa dan sekitarnya.
Ketua BPD Desa Munjan menyampaikan keluhan masyarakat terkait pemasangan bubu paluh yang dianggap mengganggu wilayah tangkap nelayan tradisional. Lokasi pemasangan disebut-sebut berada di zona inti, mulai dari Karang Buluh hingga Karang Nuse.
“Selain bubu paluh, masyarakat juga menyoroti aktivitas pemasangan bubu karang serta pengambilan batu karang yang dinilai merusak lingkungan laut,” ucapnya.
Ia menegaskan, aturan tidak hanya berlaku untuk nelayan dari luar desa, tapi juga untuk warga Desa Munjan sendiri.
“Nelayan tradisional menilai pemasangan bubu tersebut mengganggu metode pancing ulur dan Mereka menekankan bahwa larangan berlaku tidak hanya bagi warga luar, tetapi juga masyarakat Desa Munjan sendiri,” tegas Ketua BPD Munjan Itu.
Kemudian Kepala Desa Munjan Sidik menyatakan, bahwa pihaknya tidak berniat melarang, melainkan hanya ingin menetapkan batasan dan titik koordinat untuk pemasangan bubu paluh.
Ia juga memastikan bahwa masyarakat Desa Munjan tidak lagi mengambil batu karang, dan menyambut baik dialog terbuka demi menghindari konflik antar nelayan.
“Ini demi menghindari benturan. Kita ingin mengatur saja, bukan melarang. sehingga tidak mengganggu nelayan pancing ulur,” jelasnya.
Perwakilan dari Dinas Perikanan, PSDKP, LKKPN Wilayah Kerja Anambas, HSNI, dan Cabang DKP Provinsi Kepulauan Riau turut hadir memberikan pandangan. Semua pihak sepakat bahwa penting untuk menjaga kondusivitas wilayah dan menghindari konflik antar nelayan.
“Kami dari Pemda berharap, melalui rapat ini tidak muncul konflik di lapangan yang dapat merugikan semua pihak. Keputusan yang diambil harus sejalan dengan aturan hukum yang berlaku,” ujar Kepala DP3 Anambas, Rovaniyadi melalui Kepala Bidang (Kabid) Perikanan Tangkap, Fetri Ardiansyah.
Ketua HSNI Kabupaten Kepulauan Anambas Dedi Syahputra juga mengingatkan pentingnya menghindari praktik “kapling laut” oleh kelompok tertentu dan menekankan bahwa pengelolaan laut harus mengacu pada Undang-Undang serta kearifan lokal. dan dirinya menegaskan bahwa nelayan harus saling menghargai wilayah tangkap dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam laut.
“Nelayan harus saling menghargai dan menjaga wilayah laut bersama,” ujarnya.
Disisi lain Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Kepri menambahkan bahwa semua usaha perikanan di kawasan konservasi harus memiliki surat izin. Setiap kapal juga wajib memiliki pas kecil sebagai identitas legal nelayan. Saat ini, masih banyak nelayan yang belum mengurus dokumen tersebut.
“Desa tidak punya kewenangan untuk mengatur wilayah laut. Jika ada masalah, sebaiknya diselesaikan secara persuasif terlebih dahulu,” ujar Kepala Cabang DKP itu dihadap para tamu undangan.
Perwakilan dari Loka Kawasan Konservasi Perairan Nasional (LKKPN) Pekanbaru Wilayah Kerja Anambas menegaskan bahwa pemasangan alat tangkap bubu hanya diperbolehkan pada wilayah laut di bawah dua mil, sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Secara hukum, ada tiga Undang-Undang yang menjadi dasar pengelolaan konservasi laut, termasuk pengaturan alat tangkap seperti bubu. Di wilayah 771, bubu diperbolehkan dipasang di bawah dua mil laut dari garis pantai,” jelas Koordinator Wilker LKKPN Anambas, Leonard Simbolon.
Kemudian, Perwakilan nelayan pengguna bubu paluh mengaku hanya memasang bubu secara musiman dan tidak merusak karang.
“Kami pasang bubu hanya saat musim selatan. Talinya kami buat satu meter dari permukaan laut. Kami minta diberi titik koordinat zona inti agar tidak salah pasang yang dimaksud oleh Desa Munjan, mana-mana titik yang boleh kami pasang bubu ini,” ujar salah satu nelayan.
Kemudian rapat diakhiri dengan, Semua pihak sepakat, musyawarah dan kearifan lokal adalah kunci untuk menyelesaikan persoalan ini agar laut Anambas tetap lestari dan masyarakat nelayan bisa hidup berdampingan dengan harmonis.(Bk/Jun).