Penulis :
Nicholas Rafael Panjaitan
2305010111
Ilmu Pemerintahan
Sebagai ibu kota Provinsi Kepulauan Riau, Tanjungpinang seharusnya menjadi simpul utama desentralisasi: pusat pengambilan keputusan, laboratorium pelayanan publik, sekaligus penggerak ekonomi kawasan.
Namun dalam praktiknya, otonomi di kota ini justru kerap terasa setengah jalan. Kewenangan terfragmentasi, fiskal terbatas, dan tata kelola wilayah yang tumpang tindih menandakan bahwa desentralisasi belum benar-benar selesai.
Masalahnya bukan semata pada kapasitas pemerintah kota, melainkan pada desain relasi pusat–provinsi–kabupaten/kota yang timpang. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, banyak urusan strategis ditarik ke tingkat provinsi.
Di Kepulauan Riau, implikasinya terasa nyata: kota seperti Tanjungpinang kehilangan ruang gerak dalam pengelolaan aset, kawasan pesisir, hingga infrastruktur transportasi yang justru menjadi denyut nadi aktivitas warga.
Situasi ini melahirkan paradoks. Tanjungpinang memikul beban sebagai pusat administrasi dan pelayanan, arus penduduk, mobilitas harian, kebutuhan infrastruktur, namun tidak dibarengi dengan kewenangan fiskal dan teritorial yang memadai.
Ketergantungan pada transfer pusat dan provinsi pun tak terhindarkan, membuat pemerintah kota lebih sibuk menyesuaikan program daripada merancang kebijakan yang benar-benar kontekstual.
Di sinilah urgensi reformasi teritorial menjadi relevan. Reformasi teritorial bukan berarti pemekaran wilayah secara serampangan, melainkan penataan ulang kewenangan dan fungsi ruang agar sesuai dengan realitas sosial-ekonomi.
Dalam konteks Tanjungpinang, relasi dengan wilayah sekitar, terutama Kabupaten Bintan, perlu ditata melalui pendekatan kawasan, bukan sekadar batas administratif. Kota dan kabupaten telah lama terhubung secara fungsional, tetapi dipisahkan oleh kerangka kewenangan yang kaku.
Desentralisasi yang efektif mensyaratkan kejelasan: siapa berwenang atas apa, siapa membiayai, dan siapa bertanggung jawab. Tanpa kejelasan ini, pelayanan publik terjebak dalam tarik-menarik birokrasi, sementara warga menjadi pihak yang paling dirugikan.
Transportasi antarpulau, pengelolaan kawasan wisata, hingga penataan ruang pesisir adalah contoh urusan yang membutuhkan koordinasi lintas wilayah dengan mandat yang tegas.
Lebih jauh, reformasi teritorial juga harus menyentuh aspek fiskal. Kota pusat pemerintahan tidak bisa terus-menerus bergantung pada dana transfer tanpa ruang inovasi pendapatan.
Ketika kewenangan ekonomi strategis tidak berada di tangan pemerintah kota, maka desentralisasi kehilangan makna substantif dan berubah menjadi administratif belaka.
Tanjungpinang sesungguhnya mencerminkan problem desentralisasi Indonesia hari ini: otonomi yang dijanjikan, tetapi dibatasi oleh ketakutan akan fragmentasi.
Padahal, yang dibutuhkan bukan sentralisasi ulang, melainkan desain kewenangan yang cerdas dan adaptif. Pemerintah pusat perlu melihat kota-kota seperti Tanjungpinang sebagai mitra strategis, bukan sekadar unit administratif.
Jika desentralisasi ingin diselamatkan dari sekadar slogan reformasi, maka keberanian menata ulang relasi teritorial adalah keniscayaan.
Tanjungpinang bukan meminta keistimewaan, melainkan keadilan kewenangan agar mampu menjalankan perannya sebagai ibu kota provinsi secara efektif.
Tanpa itu, desentralisasi akan terus berhenti di atas kertas, jauh dari kehidupan warga yang seharusnya menjadi tujuan utamanya.***

















