Cabai di Ujung Harapan, Suara Hati Petani Natuna di Tengah Anjloknya Harga

0
70
Foro : karikatur petani cabe rawit di Natuna

Natuna – Di tengah bentangan hijau yang subur di Bunguran Tengah, Kabupaten Natuna, seorang petani cabai rawit Aan Dwi menatap lekat barisan tanaman cabainya. Dengan sorot mata penuh resah, ia memandangi barisan tanaman cabainya yang mulai memerah, tanda waktu panen telah tiba. Namun, bukannya kebahagiaan, justru rasa was-was yang menghantui.

“Aroma panen harusnya manis, tapi tahun ini pahit, karena harga cabai jatuh tak terbendung,” ungkapnya lirih.

Cabai yang dulunya bisa dijual dengan harga Rp80.000 per kilogram, kini hanya dihargai sekitar Rp30.000. Jatuh bebas, tanpa kendali. Di saat hasil mulai siap dipanen, keuntungan justru menghilang, menyisakan kerugian yang sulit ditutup.

Antara Harapan dan Realita

Kebun cabai bukan sekadar ladang tanaman. Bagi Aan dan puluhan petani lainnya di Natuna, ia adalah ladang harapan. Tempat mereka bertaruh pada cuaca, pupuk, dan waktu demi masa depan keluarga. Namun, saat harga jatuh, harapan ikut tenggelam.

“Modal tanam besar, pupuk mahal, tenaga juga capek. Tapi harga jual tak bisa menutupi semua itu. Kami rugi,” kata Aan.

Lebih memilukan lagi, petani lokal harus bersaing dengan pasokan cabai dari luar daerah yang masuk ke pasar-pasar di Natuna saat harga stabil. Kondisi ini membuat para petani lokal semakin terjepit di tanah mereka sendiri.

“Kami ini petani asli Natuna. Tapi cabai dari luar datang, menekan harga. Rasanya seperti jadi tamu di kampung sendiri,” ujarnya getir.

Sinyal Krisis Agrikultur

Penurunan harga cabai disebut sebagai dampak dari melemahnya daya beli masyarakat, yang terjadi seiring lesunya beberapa sektor perekonomian. Di sisi lain, belum ada sistem yang kokoh untuk perlindungan harga atau intervensi pasar agar petani bisa bernapas lega. Ketidakseimbangan ini menjadikan sektor pertanian sangat rentan, meskipun perannya vital dalam kehidupan masyarakat.

“Saat ekonomi makin sulit, hasil pertanian justru dihargai murah. Ini menyakitkan,” lanjut Aan.

Menanti Perbaikan Ekonomi 

Aan berharap perekonomian natuna segera membaik sehingga seluruh sektor juga mulai pulih terutama daya beli masyarakat.

Di tengah kondisi yang sulit, Aan mengakui bahwa sejumlah bantuan dari pemerintah selama ini sudah cukup membantu meringankan beban seperti pupuk subsidi.

“Bantuan itu penting dan kami bersyukur. Tapi kalau ekonomi secara umum membaik, daya beli masyarakat juga ikut naik. Dan kalau daya beli naik, harga cabai mungkin juga ikut stabil,” harap Aan.

Cabai dan Masa Depan Petani

Kini, di setiap butir cabai yang membesar tersimpan kegelisahan dan pertanyaan: sampai kapan kondisi ini terus berlangsung?

Para petani Natuna tak hanya berhadapan dengan cuaca dan hama, tetapi juga sistem yang belum memihak. Mereka berharap adanya kebijakan pembelian hasil panen oleh pemerintah, pengawasan terhadap distribusi luar daerah, serta perlindungan harga minimum bagi komoditas lokal.

Di tengah arus ekonomi nasional yang tak pasti, petani seperti Aan tetap berdiri tegak menjadi penyambung hidup masyarakat dari ladang-ladang sederhana mereka. Namun tanpa dukungan menyeluruh, perjuangan ini hanya akan berputar dalam lingkaran yang sama.

“Jika pertanian tumbang, bagaimana dengan masa depan desa-desa seperti kami?,” tutup Aan, sebelum kembali menunduk, menatap kebun cabainya meski nilainya tak lagi sepadan, namun harapannya belum padam. (Bk/Dika)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini