Polemik Batas Wilayah Desa Pengadah–Teluk Buton Mencuat, Warga Desak Peninjauan Ulang

0
132
FOTO : Ilustrasi

Natuna – Polemik batas wilayah antara Desa Pengadah dan Desa Teluk Buton, Kabupaten Natuna, kembali menjadi sorotan publik. Isu ini mencuat melalui unggahan akun Facebook bernama Yaumul Miizan dalam grup BERITA NATUNA, yang menyuarakan keresahan terkait dugaan ketidaksesuaian dalam penetapan tapal batas antar dua desa tersebut.

Dalam unggahan tersebut, Yaumul Miizan, yang mengaku sebagai warga Desa Pengadah, menyampaikan bahwa proses penetapan batas wilayah tidak dilakukan sesuai tahapan yang seharusnya. Ia juga meminta Pemerintah Kabupaten Natuna agar melakukan evaluasi ulang terhadap proses tersebut.

“Kami menganggap tapal batas antara Desa Pengadah dan Teluk Buton tidak memenuhi proses dan tahapan yang semestinya,” tulisnya.

Tak hanya itu, warga juga menyoroti dugaan upaya dari pihak Desa Teluk Buton untuk mensertifikatkan lahan yang diklaim sebagai milik masyarakat Desa Pengadah secara turun-temurun. Lokasi lahan yang dipersoalkan berada di wilayah Air Majau dan Air Buntuk—dua kawasan yang disebut memiliki nilai historis bagi warga Pengadah.

“Baru-baru ini kami dapati bahwa Desa Teluk Buton bersama ‘Genk Tanah’ mencoba mensertifikatkan lahan-lahan yang belum kami sertifikat kan dalam program PTSL kemarin, padahal itu lahan kami yang telah kami kuasai turun-temurun sejak sebelum Desa Teluk Buton ada,” lanjutnya.

Unggahan tersebut memicu berbagai reaksi dari warga lain di media sosial. Banyak dari mereka mendukung adanya klarifikasi serta penyelesaian dari pemerintah daerah terkait permasalahan batas wilayah dan hak atas tanah tersebut.

Kepala Desa Teluk Buton, Doni Boy, saat dikonfirmasi menyebut bahwa batas wilayah tersebut telah ditetapkan sejak tahun 2018 dan pihaknya hanya menjalankan ketentuan yang telah ada.

“Batas wilayah ini sudah masuk ranah perbatasan antara Kecamatan Bunguran Timur Laut dan Bunguran Utara. Itulah peta batas wilayah yang kami gunakan,” ujarnya.

Menanggapi keluhan warga Pengadah, Doni mempertanyakan mengapa baru sekarang dipermasalahkan.

“Kalau masyarakat merasa penetapan itu tidak sah, kenapa tidak dipertanyakan sejak dulu?” katanya.

Terkait tuduhan sertifikasi lahan, Doni menegaskan bahwa selama dirinya menjabat sebagai kepala desa, belum ada sertifikat yang diterbitkan.

“Semasa saya menjabat, belum ada penerbitan sertifikat seperti yang dituduhkan,” ucapnya.

Doni juga membenarkan bahwa memang telah dilakukan pengukuran lahan oleh pihak BPN Natuna, sebagai bagian dari proses administratif batas wilayah.

“Pengukuran memang dilakukan karena tanah itu masuk wilayah Desa Teluk Buton, berdasarkan peta lokasi,” jelasnya.

Menanggapi tudingan bahwa lahan yang diklaim sebagai milik warga Pengadah kini dikuasai pejabat desa, Doni menegaskan bahwa tidak ditemukan tanda-tanda kepemilikan atas lahan tersebut.

“Ketika dicek, tidak ada bukti bahwa itu lahan milik warga. Tidak ada tanda kepemilikan. Jadi kami anggap itu lahan kosong,” tegasnya.

Ia pun menekankan bahwa pengukuran oleh BPN dilakukan tanpa intervensi dari pihak desa.

“Saya tidak pernah mengajak pihak BPN untuk melakukan pengukuran di lokasi,” tambahnya.(Bk/Dod)

Editor : Papi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini