OPINI : Keputusan melarang acara joget dengan dalih mencegah terjadinya konflik sosial seolah menjadi kebijakan instan yang mengorbankan satu pihak, khususnya komunitas sound system.
Padahal, fakta lapangan menunjukkan acara-acara tersebut sudah meminta izin resmi dari kepolisian dan pemerintah setempat, bahkan telah membayar biaya keamanan.
Ironisnya, ketika insiden terjadi, yang disalahkan justru acara jogetnya, bukan aparat yang seharusnya menjalankan tugas pengamanan sesuai amanat UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bukankah tugas aparat adalah memastikan ketertiban dan keamanan, bukan membatasi kegiatan masyarakat yang sah ?
Logikanya sederhana: kalau jalanan macet, jangan larang orang punya mobil, perbaiki pengaturan lalu lintasnya.
Menghapus acara joget tidak otomatis menghapus potensi konflik. Yang seharusnya dievaluasi adalah kinerja pengamanan — mengapa bisa terjadi konflik di tengah kegiatan yang memiliki izin dan sudah diantisipasi?
Penertiban dengan larangan total terkesan sebagai bentuk cuci tangan, melepaskan tanggung jawab dari institusi yang mestinya berada di garda terdepan menjaga keamanan.
Jika dibiarkan, pola seperti ini hanya akan mengikis rasa percaya publik terhadap aparat, sekaligus mematikan denyut ekonomi yang tumbuh dari komunitas sound system.
Vox populi vox Dei — suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat bicara, rakyat melihat, dan rakyat berhak mempertanyakan: larangan ini untuk menjaga ketertiban, atau hanya untuk menutupi kelalaian?
Laporan : Haris