Bukan Zamannya Memenjarakan Wartawan

0
78
Hendry Ch Bangun

Catatan Wakil Ketua Dewan Pers  Hendry Ch Bangun

ADA teman bertanya, “Bang, aneh nggak kalau ada wartawan mau memenjarakan wartawan?” Seketika saya jawab, “Aneh sekali. Terutama kalau dia sudah wartawan bersertifikat Kompetensi. Seharusnya dia menghayati Kode Etik dan Undang-Undang Pers.” Salah satu tonggak sejarah dari reformasi yang menghasilkan Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999, salah satu poin, dihilangkannya pemidanaan penjara bagi wartawan, dalam hal ini penanggung jawab media.

Undang-undang ini mendobrak kriminalisasi pers, khususnya kepentingan politik rezim Orde Baru. Dengan mengatur mekanisme hak jawab. Pers dibebaskan melakukan kegiatannya. Kalau pers keliru, melanggar Kode Etik, dia wajib memberi hak jawab sebagai bagian dari akuntabilitas pers, sebagai pertanggungjawaban ke publik.

Jadi apabila ada yang merasa dirugikan dengan produk jurnalistik, silakan meminta hak jawab ataupun mengadu ke Dewan Pers. Memang masih banyak masyarakat tidak tahu isi Undang-Undang Pers, meskipun usianya sudah 32 tahun, tapi itu berlaku. Lho kan hak warga negara menggugat pers? Ya benar, tetapi kalau semangat reformasi yang kini dia nikmati, jangan mau ambil enaknya.

Anda hidup di era Soeharto pasti tahu. Beda pendapat, diteror. Mengkritik aparat keamanan, diinterogasi atau ditahan berhari-hari tanpa alasan. Media massa selalu ditelpon kalau ada informasi dianggap bakal merugikan, mau diberitakan. Sensor, breidel, intimidasi dan kekerasan dari aparat keamanan, luar biasa banyaknya. Kalau saat ini Soeharto masih berkuasa, isi WhatsApp Group, Instagram, Twitter, pasti akan sopan, berbahasa baik. Atau setiap hari ribuan orang dibawa untuk diinterogasi.

Kemerdekaan pers yang ideal tentulah kebebasan dalam koridor etika, sejalan dengan Undang-Undang Pers dan meskipun ada banyak penumpang gelap yang memanfaatkan pers untuk kepentingan dirinya, itu merupakan tanggung jawab seluruh masyarakat. Peran serta ini diwujudkan dalam bentuk kontrol, mengingatkan apa bila ada yang keliru, ikut meningkatkan kapasitas media dan wartawan sesuai posisinya.

Pejabat, misalnya jangan ingin mengkooptasi media dan wartawan dengan uang, kemitraan, apalagi menggertak dan melakukan kekerasan. Pengusaha silakan memanfaatkan media. Tapi jangan menjadikan media tidak kritis terhadap agenda korporasi. Yang membutakan media dari polusi, monopoli, kerusakan alam, kerugian masyarakat dan sebagainya.

Dalam kondisi sekarang, praktis hanya segelintir perusahaan media yang mampu memberikan pendidikan dan pelatihan bagi wartawannya. Sehingga peran pemerintah, swasta, masyarakat, sebenarnya sangat dibutuhkan. Tetapi tetap dengan asumsi bahwa wartawan yang baik merupakan keuntungan bagi masyarakat dan bangsa, karena dia akan menjalankan tugas dan fungsinya seideal mungkin.

Wartawan dekat dengan siapa saja, tetapi tetap fokus melakukan agenda medianya untuk tetap kritis. Dia kenal baik petinggi sipil dan militer tetapi sudut pandangnya adalah bagaimana agar beritanya semata-mata demi kepentingan publik. Jadi apabila ada kebijakan merugikan masyarakat, dia kritik dengan beritanya. Dia selalu turun ke lapangan untuk merekam keluhan, serta melihat realitas, agar dapat menyuarakan aspirasi warga negara untuk didengar pengambil keputusan.

Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan satu tahun setengah membuat banyak perusahaan pers kolaps, berkurang daya tahan ekonominya, dan hanya bertahan untuk tetap hidup, yang berpengaruh pada operasional atau cara kerja. Kesejahteraan wartawan ikut terimbas, dikurangi gaji atau tunjangannya. Banyak yang bahkan terkena pemutusan hubungan kerja. Pelatihan menjadi barang mewah yang sulit terlaksana. Mau tidak mau ini semua berpengaruh pada kualitas karya jurnalistik.

Belum lagi kalau wartawan diberikan target untuk menghasilkan sejumlah berita dalam satu hari, sebagaimana lazim terjadi di media siber atau online. Kuantitas dinomorsatukan, kualitas, nanti dulu. Khusus media online ini, masyarakat menyaksikan bagaimana dalam dua tahun, setiap pengelola berlomba-lomba mencari perhatian publik agar produknya paling dulu diklik. Media yang didirikan dengan modal puluhan atau sekian ratus milyar, yang mestinya setia pada mutu, ikut-ikutan memakai cara ini agar balik modal.

Ada sekian ratus trilyun rupiah nilai pasar iklan tetapi sebagian besar sudah disedot media sosial dan aggregator berita, maka kue tersisa menjadi rebutan perusahaan media dengan cara apapun. Wartawan lalu menjadi korban tidak terhindarkan. Ada ribuan media online baru yang tumbuh dan akan terus tumbuh, sebagai dampak langsung dan tidak langsungnya. Wartawan yang berhenti dari media besar, bikin media siber. Sebagian memiliki modal cukup dan sebagian besar dengan pas-pasan dan modal nekad, mencoba ikut masuk ke dalam persaingan bebas itu.

Dengan segala keterbatasan modal dan SDM, mereka tertatih-tatih karena ingin menyajikan jurnalisme bermutu. Tetapi banyak juga yang mendirikan media bukan untuk idealisme jurnalistik. Menjadikan media sebagai badan usaha untuk mendapatkan uang dan keuntungan semata. Caranya adalah dengan menjalin kemitraan, istilahnya, mengandalkan kedekatan dengan pejabat di provinsi atau kabupaten/kota. Walau sedikit, yang penting, bisa buat memperpanjang nafas. Tentu saja media yang dikelola dengan cara ini, kualitas jurnalistiknya seadanya karena cenderung memuat berita rilis dan hanya kritis kepada pihak yang tidak bisa diajak kerjasama.

Lalu orang-orang berteriak, harus diatur, Undang-Undang Pers perlu diperbaiki karena keadaan sekarang tidak sesuai dengan tujuan reformasi. Ada betulnya pendapat itu. Tetapi yang harus diingat adalah jangan sampai perubahan Undang-Udang Pers melahirkan pasal yang membuat pendirian media harus ada izin, pers bisa disensor atau dibredel, dan wartawan bisa dipenjara, dicegah atau dihalangi dalam bekerja.

Ya, memenjarakan wartawan sudah tidak zamannya. Tidak kompatibel dengan kondisi kita saat ini. Kita bukan Singapura, bukan Thailand, bukan Malaysia, Filipina, atau rezim komunis seperti Laos, Kamboja, menyebut beberapa negara tetangga yang masih punya aturan memenjarakan wartawan sekaligus menjatuhkan denda. Indonesia punya Undang-Undang Pers yang mengubah pidana penjara menjadi pidana denda, itupun apabila ada media yang bandel tidak menjalankan perintah undang-undang. Tidak suka pada tulisan, balaslah dengan tulisan.

Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang diwakili Panglima TNI Djoko Santoso, mendapatkan Medali Emas Kemerdekaan Pers dalam Hari Pers Nasional 2009. Karena institusi itu mengedepankan mekanisme hak jawab untuk berita dianggap merugikan TNI. Sikap ini sejalan dengan semangat reformasi, mengikuti perkembangan zaman, dan memahami demokrasi yang menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Nah kalau TNI saja sudah begitu, apa tidak malu lembaga lain mau memenjarakan wartawan?

Apalagi kalau pelakunya wartawan. Profesi Anda landasan ideologis dan operasionalnya adalah Kode Etik Jurnalistik. Anda bekerja diatur Undang-Undang Pers. Anda tidak pantas menjadi wartawan kalau ingin memenjarakan wartawan karena beritanya, karya jurnalistiknya, opini atau pendapatnya Anda anggap merugikan. Karena itu kompetensinya harus terus ditingkatkan.

Hati-hati menggunakan istilah. Dalam profesi wartawan yang ada adalah opini menghakimi, bukan mencemarkan nama baik, apabila ada sesuatu dianggap merugikan karena tuduhan yang menyudutkan, merugikan, dan sebagainya. Kalau masih keliru, artinya Anda perlu belajar lagi agar menghayati profesi Anda. Jangan-jangan Anda hanya pekerja pers, hanya menganggap bekerja di perusahaan pers untuk mencari hidup, bukan menjalankan profesi mulia yang bekerja untuk khalayak, mengedepankan kepentingan umum, membela yang lemah. Lalu apa artinya materi uji kompetensi yang Anda ikuti saat ujian. Belum pantas Anda memegang sertifikat kompetensi kalau pandangan tidak sejalan dengan Undang-Undang Pers.

Atau mungkin karena menjadi wartawan hanya gagah-gagahan karena sebenarnya Anda itu pengusaha yang menjadikan pekerjaan wartawan untuk mendapat privilege dalam lelang proyek. Atau Anda aktivis yang cara memperjuangkan berbeda, filosofinya berbeda dengan profesi wartawan. Atau Anda pengacara yang sesekali mengubah pekerjaan menjadi wartawan untuk memperkuat posisi tawar, itu tidak tepat karena Kode Etik Pengacara berbeda dengan Kode Etik Jurnalistik. Kalau begitu, berhenti jadi wartawan. Tinggalkan profesi wartawan dan gunting sertifikat kompetensi Anda. Karena itu merusak profesi kewartawanan.

Memang tidak mudah menjadi wartawan, meskipun mungkin mudah lulus uji kompetensi karena menghafal soal dan mengerti pasal-pasal di undang-undang dan kode etik, serta Anda terampil menulis karena berlatih. Secara teknis sering tidak ada kesulitan untuk melewati ujian, tetapi ujian sebenarnya adalah pada pandangan hidup, sikap, dan perilaku untuk mengetahui kepantasan menyandang profesi wartawan.

Karena wartawan adalah profesi. Ada kesadaran pada etika, yang harus dihayati, ditaati, dijadikan landasan dalam setiap tindakan, entah saat menjalankan tugas di lapangan atau dalam memandang setiap persoalan. Sekecil apapun kesalahan kita dalam menerapkan etika, itu adalah pelanggaran atas profesi dan membuat kita harus refleksi dan bertanya pada diri sendiri, apakah saya pantas menjadi wartawan. Tapi kalau Anda sudah berpikir untuk memenjarakan wartawan, memidanakan penjara karya jurnalistik, Anda sudah melampaui batas. Maaf, Anda sudah tidak layak menjadi wartawan. ****

Ciputat 3 Agustus 2021

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini