Natuna – Para nelayan di Kabupaten Natuna tengah menghadapi masa sulit setelah terhentinya ekspor ikan hidup ke Hongkong.
Kapal penampung asal Hongkong yang biasanya membeli ikan hidup, terutama jenis kerapu, dikabarkan tidak lagi datang ke perairan Natuna dalam beberapa waktu terakhir.
Kondisi ini membuat nelayan lokal kelimpungan karena hasil tangkapan mereka tidak terserap pasar seperti biasanya. Bahkan para pengepul dan pelaku usaha ikan hidup mengaku terancam gulung tikar akibat kondisi tersebut.
“Sedih, Bang. Sekarang ikan hidup tak laku. Ini sangat berdampak bagi kami nelayan yang menggantungkan hidup dari penjualan ikan hidup,” keluh Sidi, seorang nelayan asal Natuna, saat ditemui BursaKota, Minggu (20/6/2025).
Sidi berharap ada perhatian serius dari pemerintah daerah untuk mencari solusi atas masalah ini. Ia menilai, jika kondisi ini terus berlanjut tanpa ada kejelasan, maka mata pencaharian nelayan setempat akan semakin terpuruk.
“Semoga ada solusi dari pemerintah daerah. Kalau begini terus, kami sangat terancam,” tambahnya dengan nada prihatin.
Hal senada juga disampaikan oleh salah seorang nelayan Kelarik Kecamatan Bunguran Utara Saleh Iskandar, mengungkapkan keluh kesahnya menggambarkan betapa beratnya beban ekonomi yang kini ia dan banyak nelayan lain tanggung.
“Mata pencaharian saya hanya sebagai nelayan. Tapi sekarang kapal Hongkong yang biasa membeli ikan kerapu tidak kunjung datang. Kami jadi benar-benar kesulitan untuk menghidupi keluarga,” ucap Saleh dengan nada lirih saat ditemui di kediamanya beberapa waktu lalu.
Saleh yang sehari-hari melaut di perairan Kelarik Air Mali, mengaku kini penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, apalagi untuk membelikan perlengkapan sekolah bagi dua putrinya, Shelda (siswa SD) dan Sela (kelas 3 SMP).
Ia menyebut bahwa penghasilan dari menjual ikan kerapu satu-satunya tangkapan bernilai tinggi kini tak lagi bisa diandalkan karena ketiadaan pembeli dari luar.
Istrinya, Erlina, pun turut menyampaikan kegundahannya sebagai ibu rumah tangga. Menurutnya, harga sembako yang terus naik tidak sebanding dengan pendapatan harian suaminya sebagai nelayan.
“Kerja semakin susah, harga kebutuhan pokok makin naik. Pendapatan suami saya makin kecil. Untuk beli beras saja kadang harus menunggu uang cukup dulu,” keluh Erlina.
Kondisi ini menurut Saleh tidak hanya dialaminya seorang diri, namun juga menjadi keresahan banyak nelayan lain di Kecamatan Bunguran Utara dan wilayah Natuna secara umum. Ia pun mewakili suara para nelayan yang berharap ada perhatian nyata dari pemerintah.
“Kalau kapal dari Hongkong tidak datang-datang, pemerintah jangan tinggal diam. Harus ada solusi. Buka lapangan kerja untuk kami nelayan, atau beli hasil tangkapan kami dengan harga pantas. Kami ini rakyat daerah perbatasan, tolong jangan dibiarkan sendiri,” tegasnya.
Saleh berharap keluhannya ini bisa sampai kepada pemangku kepentingan, khususnya DPRD dan pemerintah daerah, agar segera mencari jalan keluar untuk membantu para nelayan yang kini nyaris kehilangan mata pencaharian utama mereka.
Belum diketahui secara pasti penyebab terhentinya ekspor ini, namun sejumlah pihak menduga bisa terkait dengan regulasi ekspor, hambatan logistik, atau penurunan permintaan dari pasar Hongkong. Para nelayan pun berharap ada langkah cepat dari pemerintah untuk membuka kembali jalur ekspor atau mencarikan alternatif pasar lain bagi hasil tangkapan mereka.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) kini tengah bergerak aktif agar ekspor ikan hidup ke Hong Kong yang telah terhenti selama lebih dari empat bulan bisa kembali berjalan normal.
Langkah konkret diambil Wakil Gubernur Kepri, Nyanyang Haris Pratamura, dengan melakukan audiensi bersama Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI, Abdul Kadir Jailani, di Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025
Dalam pertemuan tersebut, Nyanyang menyampaikan permohonan resmi agar Kemenlu dapat memfasilitasi komunikasi diplomatik antara Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT), termasuk otoritas di Hong Kong.
“Ekspor ikan hidup ini merupakan tulang punggung ekonomi nelayan di Anambas dan Natuna. Jika tidak segera diatasi, ribuan nelayan dan pembudidaya ikan terancam kehilangan penghasilan,” ujar Nyanyang.
Didampingi oleh Asisten II Setdaprov Kepri Luki Zaiman Prawira, Kepala DKP Kepri Said Sudrajat, serta perwakilan eksportir dan Ketua HNSI Kepri, Wagub menegaskan bahwa penghentian ekspor telah menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan.
Penumpukan ikan hidup yang tidak terserap pasar menyebabkan nilai jual anjlok, sementara biaya operasional terus berjalan.
Direktur Jenderal Aspasaf Kemenlu, Abdul Kadir Jailani, menyambut baik aspirasi ini dan menyatakan komitmen Kemenlu untuk segera menindaklanjuti persoalan ini.
“Kami akan segera koordinasikan melalui KBRI Beijing dan KJRI Hong Kong. Diplomasi ekonomi menjadi bagian penting dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat di daerah perbatasan,” ujarnya.
Kemenlu juga menyatakan keterbukaan untuk menjajaki pasar alternatif, jika hambatan dari pihak Hong Kong tak kunjung terurai.
Surat Resmi Gubernur dan Isu Diplomatik Perdagangan
Langkah diplomatik Pemprov Kepri ini juga diperkuat dengan surat resmi dari Gubernur Kepri Ansar Ahmad kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), yang berisi permintaan percepatan solusi diplomatik lintas kementerian.
Sejak awal 2025, kapal-kapal berbendera Hong Kong yang biasa menjemput hasil budidaya ikan dari keramba laut di Anambas dan Natuna tidak lagi masuk ke perairan Indonesia, tanpa penjelasan resmi. Dugaan awal menyebutkan adanya pengetatan kebijakan impor atau pengawasan perdagangan dari pihak otoritas Hong Kong.
Sementara jalur alternatif, seperti distribusi lewat udara, dianggap tidak efisien secara logistik dan terlalu mahal, sehingga tak menjadi opsi ideal bagi nelayan dan pelaku usaha kecil.
Editor : Papi