Kontradiksi Hukum: Proyek Pemerintah Serap Pajak dari Aktivitas Tak Berizin
Natuna – Dibalik kokohnya bangunan perumahan swadaya masyarakat Batu Kapal di Puak, Kecamatan Bunguran Timur ternyata menyimpan isu serius.
Setelah sebelumnya menuai sorotan terkait dugaan pengalihan upah tukang, kini terungkap indikasi penggunaan material ilegal dalam pengerjaan proyek senilai Rp5,3 miliar tersebut.
Material utama seperti pasir, batu pecah, dan batu cor yang digunakan dalam Program Pengentasan Permukiman Kumuh Terpadu (PPKT) itu diduga kuat berasal dari penambangan liar, bukan dari perusahaan berizin.
Padahal, proyek yang dikelola secara swakelola oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Batu Kapal ini sejak 19 Mei 2025 ditujukan untuk membangun 57 unit rumah rakyat.
Sekretaris KSM Batu Kapal, Wan Muhammad Nurhud, saat dikonfirmasi hanya menegaskan pihaknya sebatas memesan material dari suplayer.
“Selaku KSM, kami hanya memesan material ke supplier. Jadi kami tidak tahu darimana material itu didatangkan,” ujarnya.
Namun, pengakuan S, selaku salah satu supplier, justru membuka tabir lebih dalam.
“Kami beli dengan masyarakat. Kami tidak tahu kalau yang ditambang itu legal atau ilegal. Karena kami ikut seperti orang-orang lain yang juga beli ke masyarakat,” katanya.
Pernyataan ini menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin proyek pemerintah yang dibiayai APBN/APBD bisa dikerjakan dengan bahan baku dari sumber yang legalitasnya tidak jelas?
Kepala Dinas Perizinan Terpadu Satu Pintu, Ahmad Sopian, memastikan bahwa hingga kini hanya ada satu perusahaan di Natuna yang memiliki izin resmi tambang Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB), yakni PT. Berkah Tambang Sejahtera Natuna.
Ironisnya, perusahaan tersebut hanya mengantongi izin tanah urug, bukan pasir, batu, maupun kerikil, dan belum beroperasi aktif menyuplai material ke proyek-proyek pemerintah.
Artinya, hampir dapat dipastikan seluruh material pembangunan di Natuna termasuk untuk proyek rumah swadaya didatangkan dari penambangan rakyat yang tidak berizin.
Kondisi ini semakin janggal ketika pemerintah daerah tetap melakukan pungutan pajak MBLB dari proyek-proyek tersebut. Pajak itu otomatis disetorkan ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Kontradiksi hukum pun mencuat: bagaimana mungkin pemerintah menarik pajak dari aktivitas pertambangan yang secara hukum tidak sah? Bukankah hal itu sama saja dengan melegitimasi aktivitas ilegal atas nama penerimaan daerah?
Praktik semacam ini bukan hanya melukai rasa keadilan publik, tetapi juga merusak prinsip akuntabilitas dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Selain soal legalitas, dampak lingkungan dari penambangan liar tidak bisa diabaikan. Pengambilan pasir, tanah, dan batu tanpa kajian lingkungan berisiko menimbulkan erosi, longsor, pencemaran air, hingga kerusakan ekosistem. Jika tren ini terus dibiarkan, masyarakat Natuna yang akan menanggung beban kerusakan di masa depan.
Publik mendesak agar pemerintah daerah tidak menutup mata terhadap praktik ilegal yang justru berlangsung dalam proyek resmi negara. Transparansi rantai pasok material mutlak ditegakkan, dan penggunaan bahan dari tambang ilegal harus dihentikan.
Jika pemerintah serius ingin membangun Natuna yang berkelanjutan, maka legalitas, akuntabilitas, dan perlindungan lingkungan tidak boleh dikorbankan hanya demi mengejar target fisik proyek. (Bk/Dika)