
Natuna – Di masa lalu, ketika musim panen tiba di kampung-kampung Melayu pesisir Natuna, udara dipenuhi bunyi dentuman yang khas.
“gum, gam, ” suara batang kayu panjang menghantam lesung besar berisi padi, berpadu dengan tawa dan sorak warga yang bergotong royong menumbuk hasil bumi. Suara itu bukan sekadar tanda panen, melainkan irama kehidupan: tanda bahwa kampung tengah berpesta.
Dua alat sederhana, selesung dan alu menjadi jantung dari kegiatan itu. Selesung berfungsi sebagai wadah kayu besar tempat menumbuk padi, sementara alu adalah batang kayu panjang yang digerakkan naik-turun dengan tenaga dan irama. Di sinilah lahir sebuah kesenian rakyat khas Natuna: Kesenian Alu.
Alu sendiri biasanya terdiri dari tujuh buah dengan pajang yang bervariatif, saat alu dihantam ke selesung akan memunculkan bunyi yang berbeda-beda tergantung dari ukuran alu itu sendiri sehingga menghasilkan irama yang khas.
Dentuman yang Jadi Irama
Menurut kisah para tetua, pada masa lalu masyarakat tidak hanya menumbuk padi untuk kebutuhan pangan, tetapi juga menjadikannya bagian dari pesta panen. Mereka mengemping bersama menumbuk padi hingga menjadi emping sambil memainkan alu dengan berbagai ukuran.

Dentuman alu yang saling beradu di selesung menimbulkan irama khas, bahkan menciptakan nada-nada indah yang bisa membentuk lagu tanpa alat musik apa pun.
Setiap hentakan alu menghasilkan bunyi yang berbeda, menciptakan harmoni sederhana di tengah kesibukan panen.
“Nada-nada dari alu itu jadi musik alami kami,” tutur Zaini warga Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur, tempat kesenian ini masih kadang dimainkan.
Dari Alat Dapur ke Permainan Rakyat
Seiring waktu, kegiatan menumbuk padi itu berkembang menjadi permainan rakyat.
Gerakan ini butuh ketangkasan dan konsentrasi tinggi sedikit saja salah ayunan alu suara yang dihasilkan akan sumbang dan menjadi tidak menarik. Namun disinilah tantangannya dimulai.
“Alu itu bukan cuma hiburan, tapi latihan hidup. Orang yang berani main alu, biasanya berani menghadapi tantangan,” kata Hadisun kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Natuna sekligus pemerhati seni dan kebudayaan Natuna pada Senin (22/09/2025) lalu.

Permainan alu kerap tampil dalam pesta panen, hajatan, atau acara adat. Dentuman alu menghadirkan suasana gembira yang mempererat tali persaudaraan antarwarga.
Identitas yang Tergusur Modernisasi
Kini, suara “gum, gam” itu nyaris tak terdengar lagi. Gawai menggantikan lesung, dan anak-anak lebih sibuk menatap layar daripada memegang alu di halaman rumah.
Mesin penggiling mengambil alih kerja gotong royong yang dulu dilakukan bersama.
Kesenian alu pun bergeser fungsi dari aktivitas hidup sehari-hari menjadi sekadar atraksi budaya di festival.
“Dulu kalau dengar bunyi alu di selesung, tandanya ada panen. Sekarang bunyi itu hanya terdengar kalau ada pertunjukan,” ujar Hadisun lirih.
Generasi muda banyak yang tak mengenalnya. Sebagian baru tahu tentang alu saat lomba budaya di sekolah atau ketika menonton festival daerah. Bagi mereka, alu terasa kuno terlupakan di tengah gemerlap dunia digital.
Warisan yang Terancam Hilang
Minimnya ruang pelestarian membuat tradisi alu kian rapuh. Tidak ada sanggar yang mengajarkan, tidak ada program rutin dari pemerintah, dan regenerasi berjalan tanpa arah.
Padahal di balik alu tersimpan nilai luhur: gotong royong, kerja sama, serta penghormatan terhadap hasil bumi nilai-nilai yang membentuk jati diri masyarakat Natuna.
Jika dibiarkan, alu bisa saja hanya menjadi artefak mati, tersimpan di museum atau disebut sepintas dalam buku sejarah, tanpa pernah lagi dimainkan.
Harapan untuk Dihidupkan Kembali
Meski begitu, harapan belum sepenuhnya padam. Beberapa kalangan, termasuk pemerhati budaya dan masyarakat Desa Ceruk dan Desa Baru Gajah terus berusaha menghidupkan kembali kesenian ini.

Mereka berharap pemerintah daerah memberi perhatian lebih bukan sekadar menjadikannya pertunjukan festival, tapi memasukkannya ke dalam pendidikan budaya di sekolah atau atraksi wisata daerah.
“Kalau Natuna mau dikenal bukan hanya karena lautnya, tapi juga budayanya, alu bisa jadi ikon. Jangan sampai kita baru sadar setelah semuanya hilang,” tegas Hadisun.
Menjaga Dentuman Hidup di Tanah Laut
Kesenian alu mungkin lahir dari aktivitas sederhana di dapur kampung, namun gema suaranya memantulkan nilai-nilai besar: kebersamaan, kerja keras, dan kegembiraan yang lahir dari gotong royong.
Kini, suara “gum, gam” itu menjadi panggilan bukan lagi tanda panen, tapi ajakan untuk menjaga warisan yang hampir terlupakan.
Selama masih ada yang mau menumbuk, mendengar, dan merayakan, alu akan tetap hidup di hati masyarakat Natuna. (Rusdi)