Oleh : Redaksi Bursakota
Natuna tidak sedang dilanda bencana alam. Tidak pula kekurangan sumber daya. Namun yang terjadi justru lebih destruktif, daerah ini diguncang oleh konflik di pucuk kepemimpinannya sendiri.
Ketegangan antara Bupati Cen Sui Lan dan Wakil Bupati Jarmi Sidik kini menjadi sorotan publik. Ini bukan sekadar perbedaan pandangan, tapi gejala krisis kepemimpinan yang serius.
Retaknya relasi antara dua pemegang kekuasaan tertinggi di daerah telah menciptakan atmosfer birokrasi yang tidak sehat dan berisiko menyeret Natuna ke dalam stagnasi politik maupun ekonomi.
Bermula dari pembentukan Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TPPD) yang mengesampingkan peran Wakil Bupati, hingga kritik pedas Ketua Fraksi Gerindra DPRD Kepri, Marzuki, semuanya menandakan disharmoni yang tidak bisa lagi ditutupi.
Lebih mengkhawatirkan, mencuatnya dugaan intervensi Raja Mustakim suami Bupati telah memperkeruh keadaan. Jika benar kebijakan daerah dikendalikan oleh pihak di luar struktur resmi pemerintahan, maka ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi juga sinyal degradasi demokrasi.
Ketika Bara Kekuasaan Membekukan Ekonomi
Sayangnya, mereka yang paling merasakan dampaknya bukanlah para elite, tapi masyarakat dan pelaku ekonomi lokal. Investor yang mengutamakan stabilitas dan kepastian hukum akan berpikir dua kali untuk menanamkan modal di tengah pusaran konflik internal.
Alih-alih dikenal sebagai daerah perbatasan yang strategis dan kaya sumber daya, Natuna kini lebih sering tampil di pemberitaan sebagai panggung konflik kepemimpinan dan campur tangan keluarga dalam urusan publik.
Narasi semacam ini merusak citra daerah, mengusir kepercayaan, dan membekukan optimisme akan pembangunan. Ketika pemimpin sibuk mempertahankan ego dan memperbesar lingkaran pengaruh pribadi, maka roda ekonomi pun ikut terhambat.
Kekuasaan untuk Siapa?
Pertanyaan ini semakin relevan: untuk siapa kekuasaan ini dijalankan? Jika jabatan publik hanya digunakan untuk konflik dan pertarungan pengaruh, maka rakyat Natuna bukanlah pusat dari tujuan kepemimpinan itu.
Pemerintahan bukanlah panggung keluarga. Ia adalah amanah rakyat yang harus dijalankan dengan dedikasi, integritas, dan kesadaran bahwa jabatan bersifat sementara, tapi dampaknya bisa abadi.
Natuna butuh pemimpin yang mampu meredam ego, memperkuat komunikasi, dan kembali ke rel pelayanan publik. Sudah waktunya perpecahan dihentikan. Rekonsiliasi harus segera dibangun, bukan demi elite, tapi demi masyarakat yang butuh kepastian arah pembangunan.
Jika tidak, kekhawatiran itu akan berubah menjadi kenyataan
Investor akan hengkang, ekonomi akan membeku, dan Natuna akan runtuh bukan karena kekurangan sumber daya, tapi karena kegagalan kepemimpinan menjaga amanah.
Editor : Papi