Media Harus Jernih dan Proporsional Memberitakan Temuan BPK, Bukan Jadi Hakim Jalanan

0
81
Ket Foto : Ilustrasi Temuan BPk

Sejumlah media dalam beberapa hari terakhir ramai mengangkat isu temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) terhadap penggunaan APBD Natuna tahun 2024.

Namun yang disayangkan, sebagian dari pemberitaan itu tidak hanya jauh dari akurasi, tapi juga menyerempet ke wilayah opini hukum yang seharusnya bukan wilayah seorang jurnalis untuk “memvonis”.

Beberapa pemberitaan bahkan menyebut angka yang belum dikonfirmasi secara resmi yakni disebut-sebut mencapai Rp16,3 miliar dan menyatakan bahwa jika tidak dikembalikan hingga 20 Mei 2025, maka akan langsung berpotensi ke ranah hukum.

Ironisnya, pernyataan bombastis tersebut mengutip narasumber yang kabur alias abu-abu, entah siapa dan dari mana keabsahannya.

Ini bukan sekadar soal etika jurnalistik, tapi juga soal memelintir regulasi.

Memahami Aturan Main Temuan BPK

Temuan BPK bukanlah vonis. Itu adalah hasil pemeriksaan administratif yang diberikan tenggat waktu 60 hari untuk ditindaklanjuti oleh pihak terkait.

Tenggat waktu itu berlaku setelah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) diserahkan secara resmi. Artinya, sebelum LHP keluar, tidak ada angka final, tidak ada tenggat waktu resmi, dan tentu saja, tidak ada urgensi hukum seperti yang digemborkan media tertentu.

BPK Perwakilan Kepri sendiri melalui Humasnya, Fauzi, dengan tegas menyatakan bahwa LHP atas pemeriksaan di Natuna belum diserahkan, apalagi diumumkan. Maka, pertanyaan besarnya: dari mana media itu mendapat angka dan deadline 20 Mei 2025?

Lebih jauh lagi, jurnalisme yang baik semestinya mengabarkan, bukan menghakimi. Jurnalis bukan jaksa, bukan pula auditor. Ketika narasi media terlalu dini menyimpulkan “potensi pidana” tanpa dasar jelas, maka ini bukan lagi produk pers yang mendidik tetapi menjadi alat spekulasi yang berbahaya.

Media Harus Tetap Objektif

Dalam konteks pemerintahan, termasuk di Natuna, setiap temuan BPK adalah masukan perbaikan, bukan serta-merta tudingan korupsi. Ketika pejabat daerah disebut “keringat dingin”, publik layak bertanya: itu fakta atau fiksi dramatisasi?

Kritik itu sehat, tetapi kritik harus bersandar pada data dan prosedur hukum yang benar. Jangan sampai, hanya demi pageviews atau sensasi, media tergelincir menjadi perpanjangan tangan opini gelap yang tidak bertanggung jawab.

Jika pun ada temuan, mari kawal proses tindak lanjutnya sesuai mekanisme. Biarkan pemerintah bekerja, dan biarkan publik menerima informasi yang jernih, bukan terdistorsi.

Editor : Papi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini