Efisiensi Anggaran dan Tiket Mahal Dinilai Jadi Biang Lesunya Pariwisata
Natuna – Harapan besar untuk mendongkrak sektor pariwisata Natuna pada tahun 2025 tampaknya harus dihadapkan pada kenyataan pahit.
Hingga akhir Juli, jumlah kunjungan wisatawan ke kabupaten paling utara di Provinsi Kepulauan Riau ini baru menyentuh angka sekitar 7.000 orang, atau hanya 26 persen dari target tahunan yang ditetapkan sebesar 28.000 kunjungan.
Penyebabnya? Tak lain adalah ketiadaan event pariwisata yang selama ini menjadi magnet utama wisatawan.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Natuna, Hardinansyah, mengungkapkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan sepanjang tahun 2025 membuat banyak program harus dipangkas, termasuk kalender event pariwisata yang biasanya menjadi andalan promosi daerah.
“Tahun ini kami praktis tidak memiliki satu pun event besar seperti sebelumnya. Padahal, event semacam Natuna Geopark Marathon atau Parade Jet Ski sangat efektif menarik wisatawan, baik domestik maupun mancanegara,” ujar Hardinansyah, Kamis (7/8/2025), di ruang kerjanya.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2024 lalu, Natuna justru mencetak prestasi gemilang dengan 31.000 kunjungan wisatawan, melampaui target 27.000 kunjungan.
Keberhasilan itu tidak lepas dari rangkaian event spektakuler seperti Geopark Ride, Geopark Fishing, hingga Sail to Natuna yang kala itu menjadi sorotan nasional.
Namun, tahun ini cerita berubah. Minimnya anggaran membuat panggung pariwisata Natuna sepi atraksi. Dan tanpa atraksi, tidak ada daya tarik yang cukup kuat untuk mendatangkan pelancong ke wilayah kepulauan yang sebenarnya menyimpan keindahan alam luar biasa ini.
Akses Masih Jadi Tantangan Berat
Tak hanya soal atraksi, masalah klasik lain pun kembali mencuat yakni aksesibilitas. Tingginya harga tiket pesawat menuju Natuna masih menjadi “penghalang tak kasat mata” yang membatasi arus wisatawan dari luar.
“Dalam konsep pengembangan pariwisata dikenal istilah 3A: Atraksi, Akses, dan Amenitas. Kami bisa penuhi dua poin, tapi akses menjadi PR besar. Tiket pesawat ke Natuna masih mahal dan tidak semua maskapai terbang ke sini secara reguler,” jelas Hardinansyah.
Upaya promosi sebenarnya sudah digencarkan. Salah satunya melalui kegiatan familiarization trip (famtrip) yang digelar pada awal 2024 lalu. Saat itu, Dinas Pariwisata mengundang agen perjalanan dari berbagai kota seperti Batam, Pontianak, Singkawang, bahkan dari Singapura untuk menjelajahi potensi wisata Natuna.
Sayangnya, hasilnya belum sesuai harapan
“Para agen mengaku tertarik, tapi saat mereka kalkulasi biaya, paket wisata ke Natuna masih dianggap terlalu mahal. Biaya transportasi udara menjadi komponen paling besar dan memberatkan konsumen,” tambahnya.
Harapan dari Pusat dan Maskapai
Dalam menghadapi tantangan ini, Dinas Pariwisata Natuna tak bisa berjalan sendiri. Hardinansyah menegaskan pentingnya dukungan dari pemerintah pusat dan maskapai penerbangan untuk membuka akses yang lebih terjangkau.
“Jika aksesibilitas bisa diperbaiki, saya yakin sektor pariwisata Natuna akan pulih, bahkan tumbuh lebih baik. Potensi alam, budaya, dan keramahan masyarakat sudah kami miliki. Tinggal bagaimana mempermudah orang datang ke sini,” pungkasnya.
Dengan waktu yang tersisa hanya beberapa bulan menuju akhir tahun, nasib target kunjungan wisatawan Natuna kini berada di ujung tanduk. Tanpa event, tanpa kemudahan akses, dan tanpa solusi konkret, pariwisata Natuna hanya bisa berharap pada keajaiban atau keberpihakan anggaran di masa mendatang.(Bk/Dod)