
Natuna – Di balik panorama laut biru dan gugusan pulau yang memukau, tersimpan kisah getir yang kini tengah dirasakan oleh masyarakat Natuna.
Daerah yang kaya akan sumber daya alam ini, perlahan tenggelam dalam jeratan kesulitan ekonomi yang tak kunjung reda.
Bukan satu dua orang yang mengeluh, tapi hampir setiap sudut perbincangan masyarakat hari ini menyuarakan nada yang sama.
“Susah ekonomi sekarang.” Kalimat ini menjadi semacam salam pembuka dalam banyak percakapan mulai dari pedagang pasar hingga pegawai negeri, dari petani hingga tukang bangunan.
Tangis Pedagang dan Kepasrahan Ibu Rumah Tangga
Di pasar-pasar tradisional, pedagang kecil yang dulu berjualan dengan semangat, kini hanya bisa menyeka air mata melihat omset yang terus menyusut.
Pembeli sepi, barang tak laku, bahkan tak sedikit dari mereka yang mulai menutup lapaknya lebih awal dari biasanya.
Di rumah, para ibu yang terbiasa menyusun strategi keuangan keluarga kini kehabisan cara. Suami pulang membawa penghasilan yang bahkan tak cukup untuk membeli beras sekilo. Utang ke warung pun bukan lagi solusi, sebab pemilik warung pun mengalami hal serupa kehabisan barang dan kehabisan kepercayaan.
Pekerja Harian dan PNS di Titik Lelah
Nasib lebih sulit dialami para tukang dan pekerja harian. Mereka hanya bisa menatap langit, berharap proyek atau pekerjaan datang menghampiri.
Namun proyek-proyek pembangunan banyak yang terhenti, menyisakan kekosongan aktivitas dan kekhawatiran di rumah.
Pegawai negeri sipil pun tidak luput dari badai ini. Tunjangan yang biasa mereka andalkan kini macet. Gaji pokok sudah lebih dulu “digadai” ke bank lewat SK, menyisakan harapan pada TPP yang tak kunjung turun. Satu per satu beban menumpuk, dan solusi belum terlihat.
Kontraktor dan Konsultan Menahan Napas
Kontraktor dan konsultan yang selama ini menjadi bagian dari roda ekonomi daerah kini hanya bisa menahan napas panjang. Kegiatan proyek tahun 2024 belum dibayar, sementara wacana proyek 2025 masih gelap. Banyak dari mereka berharap, setidaknya satu tagihan bisa cair sekadar untuk bertahan.
Di pedalaman, pemecah batu dan buruh kasar menatap masa depan dengan mata kosong. Mereka tahu tak banyak yang bisa dilakukan, selain menunggu proyek berikutnya jika ada.
Petani yang Gagal Panen, Bukan Karena Cuaca
Petani Natuna juga tak luput dari penderitaan. Harga jual hasil panen jatuh bebas, sementara ongkos produksi terus naik. Mereka bekerja dari pagi hingga petang, tapi hasilnya jauh dari cukup. Untuk satu musim tanam, banyak yang hanya balik modal bahkan merugi.
Hanya sebagian kecil, seperti petani kelapa dan nelayan, yang belum terlalu merasakan dampak besar. Tapi tak menutup kemungkinan, gelombang ini akan menyapu mereka juga jika tak ada perubahan signifikan.
Menanti Jalan Keluar, Siapa yang Peduli Natuna?
Kini, masyarakat Natuna hanya bisa berharap semoga ada keajaiban. Atau setidaknya, ada langkah konkret dari pemangku kebijakan. Apakah ini saatnya pemerintah daerah mengevaluasi kembali pengelolaan keuangan dan mempercepat penyerapan anggaran? Ataukah ada faktor struktural lain yang selama ini luput dari perhatian?
Yang pasti, jeritan masyarakat sudah terlalu lama terpendam. Natuna butuh solusi nyata, bukan janji. Butuh pemimpin yang mendengar, bukan hanya berbicara.
Sebab jika dibiarkan, keindahan alam Natuna bisa berubah menjadi latar belakang sunyi dari sebuah krisis yang membekas dalam sejarah daerah perbatasan ini.
Editor : Papi